Peci
Hujan diluar menemani sore ini. Kupandangi lekat-lekat kembali isi lemari di hadapanku, sebuah peci lusuh yang
telah menemani masa-masaku kini tersimpan rapi tanpa ada satupun yang boleh menyentuhnya
kecuali diriku.Ada rasa rindu tatkala memandanginya di dalam sana, Rasa rindu
yang membuat hari-hariku kini lebih bisa bersyukur dan berbijaksana atas orang-orang yang kita temukan juga cintai.
Sudah sejak tiga hari ini peci
warisan abuku kupandangi dengan
berbagai cerita di penglihatku. Sepertinya sang waktu tak mau dulu
menghilangkan kenangan lalu dan berharap untukku masih bisa lebih lama lagi
menghadirkan masa-masa itu. Peci yang telah memberi banyak kenangan ini
merupakan warisan turut temurun dari keluargaku, dan saat ini garis warisan itu
ada padaku. Abuku pernah berkata
dulu,” Alif...ini merupakan sebuah peci keramat,
yang diwariskan oleh nenekmu turut temurun kepadaku yang kini telah menghantarkan mereka
kepada kebahagiaan sejati, dan saat ini sudah masanya untuk kamu yang menyimpannya,
bawa kemana pun kamu pergi, karena dengannya kamu akan menemukan kebahagiaan dan
ketenangan yang Ia ridhai”, nasehat abu
kepada diriku.
Saat itu
aku tak mengerti apa yang ia maksudkan, malahan aku sudah teramat bosan mendengarkan
nasehat yang entah sudah berapa kali ia menceritakan tentang peci itu, “ peci
itu keramat lah, memberi kebahagiaanlah
kalau kita pakainya, bisa menjauhkan dari kebodohan dan sebagainya", Dan Aku hanya
ingin saat itu pergi berlalu bermain bhan
bersama rekan-rekanku dan menikmati sore yang berhujan ini di lapangan sana Daripada
harus selalu mendengarkan ocehan yang entah apa baiknya bagiku.
Lantas Aku pun
keluar pergi berlari bersama teman-temanku menikmati hujan pertama dibulan ini.
Kami pergi ke lapangan sana yang menjadi tempat anak-anak desa semacam kami
menghabiskan keceriaan di musim hujan, karena sungguh di daerah kami hujan
merupakan rahmat yang tak terkira besarnya. Sudah sejak dua bulan terakhir
matahari bersinar dengan teriknya hingga sumur-sumur dan tempat penampungan air
pun dilanda kekeringan. Dan kedatangan hujan ini bukankah sebuah berkah yang
patut disyukuri dengan menikmati sepuasnya bagaimana yang kami sukai, daripada
duduk di rumah bertemankan abuku dan mendengarkan nasehat-nasehatnya tentang
kebahagiaan dari peci itu.
Namun tak
diduga hujan kali ini berubah ganas. Tiba –tiba hujan saat itu menjadi badai
yang tak patut untuk kami rayakan lagi, maka berlarilah kami semua mencari tempat berteduh
menjahui dari hujan badai yang mengerikan ini. Saat itu aku menyadari keegosianku. Seandainya aku di rumah
saja dan mendengarkan nasihat-nasihat ayah tentang peci tersebut pastilah aku sekarang
tak berada di tengah-tengah kekacauan ini.
Setelah hujan berlalu, aku pun
bersama teman-temanku pulang kerumah masing-masing dengan rawut pakain entah
bagaimana ditambah karena sungguh hujan kali ini menyimpan banyak kegelisahan
di hati kami juga pastinya keluarga yang menanti kepulangan anak-anaknya,
alangkah terkejutnya di sepanjang jalan kudapati banyak pohon-pohon yang
tumbang, dan lebih mengherankanya lagi di persimpangan rumahku, kudapati banyak
sekali orang-orang yang berdiri memandangi kehalaman rumohku.
“Saba alif saba”, Kata cecekku saat mendekapku di jalan “sungguh
malang nasibmu neuk” ku bingung tak
tau apa yang ia katakan. Sebelum akhirnya di ujung sana kudapati beberapa warga
lainnya sedang mendoakan abuku
berbalutkan kain putih. Maka seketika aku merasa dunia perlahan lahan melambat,
berkisah akan pertemuan saat-saat terakhir tadi bersamanya, “Peci ini adalah
jalan kebahagiaan juga ketenanganmu maka bawalah ia kemana pun kamu pergi”. Sungguh
betapa pilunya diri ini saat mengingat kebodohan masa itu.
Dan kini, saat diri ini beranjak dewasa dan telah
memahami seluruh kebijakan alam. Sungguh baru kutahu semua arti dari nasihat abuku dulu, bahwa dengan peci tersebut
diri ini nantinya akan bisa merasakan kebahagiaan atas ridhoNya karena kesopananku
kepada sang pencipta saat aku bermunajad shalat menghambakan diri ini.
Karena sungguh pula dengan peci itu aku kini dapat sedikit berbaik hati menebus kesalahan pada diri ini atas kemurkaannya.
karena bagiku peci itu merupakan pelipur lara di setiap harinya terkhusus di
musim hujan di bulan-bulan ini, Juga saat-saat yang teramat indah tatkala
mengenang sosok abu yang terus
mencintaiku dan menasehati anaknya ini kejalanNya agar aku tetap berada di jalur
lurus sampai akhirnya walau berbagai perangai burukku kepadanya.....
Bahwa engkau sang imam yang telah membimbing hati ini kejalanNya.....
Sebagai pembaca, ada sedikit masukan dari saya...
BalasHapusCerpennya udah bagus, cuma masih ada beberapa kalimat yang memakai imbuhan yang salah dan kurang cocok, ada juga kalimat yang masih rancu, dan mungkin di bagian alurnya masih kurang jelas, mungkin jika diperbaiki, akan lebih menarik lagi...
Dan dengan terus latihan juga banyak membaca, bisa menghasilkan tulisan yang hebat kelak, Amin :)
Trims..